Rabu, 28 April 2010

Sulitkah bahasa al-Qur'an al-Karim

Pada umumnya banyak orang mengatakan bahwa Bahasa Arab, khususnya al-Qur'an itu sulit, karena berbagai alasan. Misalnya, karena tulisannya tidak seperti tulisan kita, atau karena satu kata-kata mengandung lebih dari satu arti, atau karena sesuatu susunan kalimat dalam ayat al-Qur'an dapat dimaknai begini atau bgitu, atau karena banyak kosa kata yang tidak dapat diartikan dengan Bahasa Indonesia secara tepat.

Anggapan demikian tidak benar, karena :

1. Secara Ideologis :

Al-Qur'an adalah kitab suci yang diwahyukan Allah SWT, berfungsi sebagai petunjuk. Maka tidak mungkin Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan petunjuk-Nya dengan menggunakan bahasa yang sulit dipahami atau dimengerti. Anggapan bahwa Al-Qur'an sulit itu sama dengan menganggap Tuhan mempersulit hamba-Nya. Surah Thaha : 2 ketika menyatakan "Kami tidak menurunkan al-Qur'an kepadamu supaya engkau susah" pun menolak anggapan yang demikian; jadi jelas tidak mungkin. Al-Qur'an sendiri telah berulang kali menegaskan "mudah", sebagaimana yang tertuang di Surah Maryam : 97, al-Dukhan : 58, dan di dalam al-Qamar : 17, 22, 32, dan 40. Penegasan itu tidak ada artinya kalau kenyataannya sulit. Karena itu, hanya ada satu kemungkinan saja, yaitu, yang benar itu Allah swt.. atau manusia, ya kita semua ini?! Kami yakin kita semua pasti setuju bahwa yang benar itu Allah swt.

2. Secara scientis :

a. Masalah Kosa kata,

Banyak sekali kata-kata Arab yang sudah pindah menjadi Bahasa Indonsia, mulai dari kata-kata yang telah memasyarakat, seperti ziarah, zakat, rizki, nafkah, sadaqah, soal, jawab, masalah, membahas, makalah, kalbu, wajah, sahabat, karib, selamat, tamasya dan masih banyak lagi, sampai-sampai "ilmu" pun dari kata-kata Arab. Begitu juga kata-kata yang dipakai dalam pergaulan politik, mulai dari dewan, wakil, rakyat, majelis, amanat, wilayah, daerah, wali, hukum, hakim, hak asasi, musyawarah, mufakat, dan lain sebagainya. Maka kurangnya kosa kata Bahasa Indonesia tidak dapat dijadikan alasan untuk mengatakan "al-Qur'an itu sulit". Justeru Bahasa Indonesianya lah yang sulit, karena miskin kosa kata. Dapat dipraktekkan misalnya, untuk mengartikan satu buah kata-kata "قَالَتَا" saja, diperlukan enam kosa kata Bahasa Indonesia, yaitu : dia, dua orang perempuan telah berkata. Maka wajar sebuah kitab berbahasa Arab apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia akan menjadi lebih tebal, sampai bisa jadi dua kali lipat dari naskah aslinya.

b. Soal Laki dan Perempuan.

Kalau saya katakan "keponakanku datang", tentu pemahamannya hanya sebatas seorang keponakanku saja. Kalau yang diajak berbicara belum tahu siapa keponakanku, tentu dia tidak dapat memastikan apakah dia laki-laki atau perempuan, apakah anaknya kakak atau adik saya, apakah adik saya yang punya anak itu laki-laki atau perempuan. Jadinya ruwet memahami Bahasa Indonesia ini. Tapi, kalau saya katakan dengan menggunakan Bahasa Arab : "جَاءَ ابْنُ أَخِيْ الصّغِيْرِ", semua orang pati tahu kalau keponakanku yang datang itu adalah anak laki-lakinya adik saya yang laki-laki.

c. Masalah tanda-tanda Kata Kerja, atau Kata Benda.

Selain itu, Bahasa Arab yang dipakai sebagai bahasa wahyu ini membedakan antara kata kerja, kata benda, dan huruf. Masing-masing ada tanda-tandanya sendiri yang mudah diamati, tidak perlu menggunakan mikroskop, dan semua beraturan. Bahasa Indonesia, misalnya dalam menggunakan kata kerja tidak ada kepastian, kadang-kadang memakai awalan me, ber atau ter, bahkan ada kata kerja yang tidak menggunakan awalan, seperti : makan, minum, tidur, duduk, bangun, mandi dan lain sebagainya; di samping tidak beraturan juga tidak ada aturan kapan memakai awalan ber, me, atau ter. Kira-kira menurut anda kata-kata "bergambar" itu kata kerja atau kata benda?, apa tandanya? Inilah sistem yang tidak dimiliki oleh Bahasa Indonesia.

d. Sesuai antara tulisan dan bunyinya.

Di sisi lain, Bahasa yang dipakai oleh al-Qur'an huruf-hurufnya lebih banyak dari pada Bahasa Indonesia, yaitu 28 atau 29 huruf abjad, dan semuanya pas, sesuai dan konsekwen antara tulisan dengan bacaan atau bunyinya, tidak berubah dibaca begini atau begitu. Cara membunyikannya pun hanya a, i, atau u. Lain halnya dengan Bahasa Indonesia. Misalnya, huruf o bisa berubah bacaan bila masuk dalam kata yang berbeda, seperti toko lain dengan tokoh atau tokok, obeng tidak sama dengan obor atau odol, otak berbeda dengan orok, bongkar lain dengan bosan, bakso tidak sama dengan sosok. Demikian juga pengucapan huruf e, seperti dalam kata-kata bendera, lentera, sepeda, setasiun KA Jebres, pecel, lele, tempe, penyet dll.

e. Bentuk Jama' (banyak).

Dalam menyatakan banyak, Bahasa al-Qur'an ada aturan yang mudah dimengerti; yaitu, kata-kata itu diakhiri dengan وا, ون, ين, نَ, atau ات, dan masing-masing ada tempatnya sendiri-sendiri yang sudah pasti; atau kata-kata itu diubah bentuknya dengan patokan tertentu yang gampang ditengarai. Bahasa Indonesia, untuk menunjukkan banyak dipraktekkan dengan mengulang kata-kata itu, seperti : kursi-kursi, lampu-lampu, pohon-pohon, buku-buku, dan lain sebagainya. Tetapi, ternyata kita tahu ada kata-kata yang diulang tetapi tidak berarti banyak, seperti : alun alun, onde onde, gula gula, agar agar, cumi cumi, yu yu, kura kura, kuda kuda, ubun ubun, ote ote, kupu kupu, laba laba dan lain sebagainya; bahkan ada yang tidak menentu, seperti: aba-aba, kira-kira, angan-angan, pori-pori, awang-awang, cepat-cepat dan lain semisalnya. Jadi Bahasa Arab lebih mudah dari pada Bahasa Indonesia. Orang yang belum mengerti Bahasa Indonesia masih menebak-nebak atau bertanya-tanya mana yang menunjukkan banyak dan mana yang tidak.

f. Sesuai antara tulisan dan bunyinya.

Di sisi lain, Bahasa Arab juga mengandung bacaan panjang, pendek, tebal dan tipis, sehingga ketika dibaca mengandung irama / musik; dan anehnya, semuanya pas antara huruf-hurufnya dengan artinya. Seperti bacaan رحمن, رحيم, رجيم, شيطان, جبّار, الحاقّـة, مغضوب, ضالين, زلزلت dan lain sebagainya.

g. Mengandung irama.

Berbeda dengan Bahasa Indonesia yang tidak memiliki sistem ini, sehingga apabila suatu susunan kalimat mau dilantunkan dengan sesuatu irama tertentu, terpaksa harus ada yang dipanjangkan, ditebalkan dan seterusnya, itu pun iramanya tidak fleksibel, bahkan untuk dapat melantunkannya perlu alat bantu musik seperti piano, gitar dan lain-lain, dan perlu waku berjam-jam. Itu pun hasilnya ada yang enak dilagukan di pagi hari saja, ada yang enak didengarkan di tengah perjalanan, ada yang di siang hari, ada yang di malam hari, dlsb. Seperti lagu Keroncong, Langgam Jawa, Seriosa, Pop, Rock, Dang Dut dll. Dan kalau pun sudah bisa melagukan sering kali terus bosan, akhirnya membuat lagu baru lagi yang lain; sudah begitu masih harus terbatas dalam untaian puisi dan sejenisanya saja, dan belum tentu enak kalau lagunya berubah. Seperti susunan kalimat Indonesia tanah airku atau Indonesia tanah air beta tidak ada nada musiknya kecuali setelah ada yang dipanjangkan atau dipendekkan.

h. Tidak perlu intonasi.

Satu lagi yang penting, membaca Bahasa Arab tidak perlu intonasi, langsung sudah dapat memahami arti dan maksudnya, al-Qur'an dahulu ditulis tanpa tanda baca dan intonasi, karena pembacaannya itu sendiri secara otomatis mengarah kepada arti dan maksudnya, yang ada hanya cara membunyikan huruf, yang dipelajari dalam Ilmu Tajwid. Orang Indonesia membaca Bahasa Indonesia masih perlu tanda baca untuk mendapatkan intonasinya, sehingga mengerti arti dan maksudnya. Susunan kalimat Kakak saya gila tanpa diberi tanda baca dan intonasi bisa bermakna begini bisa begitu, tergantung orang yang mengucapkan atau membacanya. Susunan kalimat tersebut dapat dibaca : Kakak, saya gila, atau dibaca : Kakak saya, gila, dapat juga dibaca : Kakak saya gila?, atau : Kakak, saya, gila!.

i. Susunannya tidak tumpang tindih.

Di dalam al-Qur'an tidak pernah ada susunan kalimat yang rawan seperti ini, atau yang artinya bisa begini bisa begitu. Kalau toh ada, itu hanya karena belum mengenal istilah / ungkapan bahasa yang dipakai al-Qur'an. Sama dengan orang yang belum mengerti maksud kata-kata besar kepala, panjang tangan, besar mulut, kepala batu, mata keranjang, air mata buaya, menjilat ludah, menjual agama dan sebagainya. Dan kita pun masih menggunakan pemakaian bahasa seperti : saya sekolah di SD / SLTP / SLTA, air mancur, padahal gambarnya air muncrat / memancar dari bawah ke atas, naik ke atas, dan turun ke bawah. Sekalipun ada juga persamaan pemakaian bahasa dengan al-Qur'an, seperti sungainya mengalir, Indonesia adalah negara terkorup di dunia, padahal yang korup orangnya, bukan negaranya. Ungkapan-ungkapan seperti ini al-Qur'an sangat pas menggunakannya.

3. Secara historis :

Yang sering dilupakan orang, bahwa al-Qur'an sudah turun sejak 14 abad yang lalu, dan sampai sekarang bahasanya tidak pernah berubah sedikit pun, hanya model tata-tulisnya yang dapat dibentuk dengan berbagai gaya tata tulis; bahkan banyak orang yang senang menikmati keindahan seni tulisan kaligrafi. Pada waktu 14 abad yang telah lalu itu, jangankan Negara Indonesia, bangsa Indonesia pun belum eksis, malah 350 tahun dikuasai penjajah. Setelah Indonesia merdeka, bangsa Indonesia kemudian menikmati kemerdekaan dengan menggunakan bahasanya sendiri, tiba-tiba orang mengatakan bahasa al-Qur'an sulit. Ini sungguh amat tidak masuk akal dan tidak dapat di mengerti, bahkan tidak etis; sebab, bahasanya sendiri belum berumur 1 abad, sedangkan al-Qur'an sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Katakanlah bahwa Bahasa Indonsia sekarang masih atau sedang berkembang terus mencari jati dirinya, masih belum mapan, apalagi sempurna; sedang Bahasa al-Qur'an sudah sempurna. Banyak kata-kata Bahasa Arab yang tidak bisa diindonesiakan, karena masih belum punya kosa kata atau makna yang pas.

Kalau memang sulit, maka yang berhak mengatakan sulit harus orang Arab itu sendiri, karena mereka yang punya bahasa; selain orang Arab tidak berhak, dan tidak pada tempatnya. Itu pun boleh al-Qur'an dikatakan sulit apabila sudah dicoba dibaca dan dipahami berulang kali tapi masih tetap tidak bisa membacanya dan tidak mengerti maksudnya. Begitu juga kita, yang berhak mengatakan sebuah buku berbahasa Indonesia itu sulit adalah kita, karena kita yang paling tahu bahasa kita. Di dalam sejarah tidak pernah terjadi orang Arab kesulitan memahami al-Qur'an; bahkan mereka terperangah, terkagum-kagum. Sayyidina Umar ra. masuk Islam gara-gara membaca bukan saja keindahan bahasa al-Qur'an, tetapi juga sekaligus isinya. Para penyair dan orang kafir banyak yang penasaran, sampai-sampai mereka mengatakan Muhammad gila (al-Anbiya' : 5, al-Shafaat : 36, al-Haaqah : 41), Muhammad tukang sihir (al-Maidah : 110), Muhammad penyair (Yasin : 69), sampai-sampai masyarakat jin pun terkagum-kagum mendengarkannya (al-Jin : 1-5).





4. Secara sosiologis :

Anggapan bahwa al-Qur'an itu sulit sama sekali tidak beralasan, dan terbantah oleh banyaknya orang yang hafal al-Qur'an di luar kepala, bahkan anak-anak pun dapat menghafalkannya; itu dari segi tata bacanya. Masalah memahami maknanya adalah masalah waktu, bukan masalah sulitnya kosa katanya. Jadi menganggap al-Qur'an sulit itu hanya karena kurang atau tidak mengakrabi al-Qur'an, kemudian mencari-cari alasan. Banyaknya orang yang dapat membaca dan mengerti artinya menjadi bukti bahwa Bahasa al-Qur'an tidak sulit. Sama dengan orang yang belajar mengendarai sepeda motor, walaupun rodanya hanya dua, satu di muka dan satu di belakang, adalah bukti bahwa naik sepeda motor itu tidak sulit, sekalipun ada orang yang tidak bisa naik, dan itu pun kalau ada tidak dapat dijadikan alasan untuk menganggap bahwa naik sepeda motor itu sulit.

Membedakan antara kripik singkong, kentang, atau gadung tidak dapat dilakukan dengan hanya sekedar mengamati, tapi harus digigit, dirasakan. Tetapi belajar al-Qur'an cukup diamati tulisannya, tidak perlu dijilat, digigit dirasakan hurufnya. Orang tidak dapat mengetahui asalnya jemblem, srawut, lemet, gaplek, gethuk, bahkan tape dari bahan apa kalau tidak digigit dirasakan; tapi untuk memahami bahasa al-Qur'an cukup diamati tulisannya, tidak perlu digigit dirasakan.

Belajar al-Qur'an tidak sesusah menjahit pakaian, yang harus dipegangi dengan kedua belah tangan kanan-kiri, dicermati tanpa henti, sejak jarum bergerak, kaki dan tangan bergoyang. Belajar Al-Qur'an cukup diletakkan, dicermati tulisannya, di tuding dengan satu jari tangan atau alat penunjuk lainnya. Belajar al-Qur'an tidak separah belajar naik sepeda pancal, yang harus jatuh bangun, babak belur, menumbur apa saja yang ada di hadapannya, itu pun tiga hari belum tentu sudah mencapai keseimbangan prima; tetapi belajar al-Qur'an cukup mengamati bentuk-bentuk kata-katanya yang di Juz 1 saja, yang terdiri dari kurang lebih 3660 kata; itu pun 70% nya merupakan pengulangan, dan itu tidak membutuhkan jatuh bangun babak belur, berpanas-panas di lapangan seperti ketika kita belajar naik sepeda..

5. Secara edukatif.

Coba perhatikan, al-Qur'an terdiri dari 30 Juz. Nabi SAW. menerima al-Qur'an selama 23 tahun. Kalau saja al-Qur'an hanya 23 Juz, berarti Nabi SAW. menerimanya setiap tahun hanya 1 Juz, atau kira-kira 10 lembar bolak-balik. Berarti 7 Juz sisanya dibagi 23 tahun sama dengan kurang lebih 2 lembar pertahun. Berarti Nabi SAW. menerima al-Qur'an setiap tahun kurang lebih hanya 12 lembar, ini berarti Nabi SAW. menerimanya 1 lembar setiap bulan, berarti setiap halaman dipelajari dalam waktu 2 minggu, berarti setiap minggunya separoh halaman, atau 7 baris, berarti satu hari hanya 1 baris. Ini tidak mungkin sulit. Sehari semalam adalah 24 jam, menurut dokter yang sehat tidurnya 8 jam, untuk kerja kantor 10 jam (termasuk perjalanannya), 4 jam untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, rapi-rapi atau bersih-bersih dll. Jadi setiap hari masih ada sisa waktu 2 jam. Ambil saja misalnya satu hari maksimal 1 jam untuk mempelajari 1 baris tadi, pasti tidak akan sulit, apalagi dalam satu baris saja sering terjadi pengulangan kata.

Perlu diingat, karena Juz 1 saja 70 % nya merupakan pengulangan, maka berarti juz-juz berikutnya tentu kosa katanya akan senantiasa berkurang terus dari jumlah 70 % itu. Dengan asumsi ini, bahwa belajar memahami al-Qur'an cukup hanya 4 Juz saja, sebab juz-juz berikutnya sudah tahu semua artinya. Bahkan banyak sekali kata-kata yang terulang itu persis apa adanya, tidak berubah. Ini pun masih dipermudah lagi dengan banyaknya ayat-ayat yang bersifat kesejarahan yang menceritakan kiprah dan perjuangan para Nabi dan Rasul serta umat terdahulu yang tidak akan berubah alur ceritanya. Jadi sekali baca pasti faham.

Belajar al-Qur'an dengan metode Manhaji, adalah sebuah alternatif, sangat mudah bagi pria maupun wanita, tua atau muda, dari latar belakang pendidikan yang berbeda sekalipun, asal sudah dewasa, sebab al-Qur'an diturunkan untuk orang yang sudah dewasa, sudah pandai menalar bahasa orang dewasa, mengerti disindir, mengerti dilulu, diberi ungkapan-ungkapan peribahasa dan lain sebagainya, tidak harus belajar Bahasa Arab (Sharaf dan Nahwu) terlebih dahulu, tetapi cukup dengan mengamati bentuk-bentuk tulisannya

Karena itu, maka kami susun langkah-langkah belajarnya yang kami tuangkan dalam buku Metode Manhaji secara aplikatif.

Bagimana itu ?

Nanti kita bertemu di tulisan berikutnya, Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar